Rabu, 15 April 2009

Suatu Siang di Semarang

Tanggal 5 Februari 2009, pukul 12.00 bis jurusan Banyumanik-Terboyo yang aku tumpangi tiba-tiba saja berhenti di depan pasar Jatingaleh. Siang itu matahari telah cukup sinarnya menerangi Kota Semarang. Diantara suasana pasar dan lalu lintas yang ramai, aku melihat seorang ibu dan anak laki-lakinya berdiri di samping jalan. Sang ibu memegang kuat-kuat tangan anak laki-lakinya, seakan takut kalau anaknya akan kabur. Sang ibu terlihat sangat sederhana, sementara itu anak laki-lakinya terlihat lebih ”kota” dibanding ibunya, dia memakai sepatu, kaos, celana jeans komprang ¾, dan memakai topi.

Entah kenapa, tiba-tiba aku tertarik untuk mengamati anak laki-laki itu. Ada sesuatu yang berbeda, tidak seperti anak-anak pada umumnya. Dia seakan-akan merasa tidak nyaman dengan topi yang digunakan, karena bagian depan topi menutupi pandangannya. Sambil kepala agak menengadah ke atas dia melihat jalanan di depannya yang ramai, sesekali dia menengok kanan-kiri seperti ibunya. Tapi anehnya dia tidak melepas topi itu, walaupun sangat mengganggu dan tidak nyaman.

Baru aku sadari, ternyata anak laki-laki itu memiliki tempurung kepala yang kecil atau mungkin sama sekali tidak memiliki tempurung kepala. Topi yang selalu dia pakai adalah salah satu strategi sang ibu untuk menutupi ketidaksempurnaan itu.

Semoga apa yang mereka lakukan siang itu dalam rangka mencari kebaikan, bukan untuk mengharap belas kasihan dari orang lain. Seperti orangtua yang memanfaatkan ketidaksempurnaan fisik dan mental anaknya untuk mencari uang dengan cara menengadahkan tangan.

Pasti Tuhan menciptakan sesuatu akan indah pada waktunya. Anak adalah amanah Tuhan. Dan ketika Tuhan memberi kita seorang anak dengan keterbatasan tertentu, pasti akan ada keajaiban di balik itu. Justru kita akan mendapatkan banyak sekali pelajaran yang mungkin tidak kita sadari ketika kita memelihara anak normal. Seperti presenter Farhan yang dikaruniai anak Autis, ”Kalian pasti akan ngiri karena saya punya anak Autis, banyak sekali pelajaran berharga yang saya dapatkan, sungguh ini karunia Tuhan yang Luar Biasa.” So, kita sebagai makhluk Tuhan yang diberi kesempurnaan, mari perbanyak rasa SYUKUR. Karena hidup kita ISTIMEWA, maka nikmatilah keistimewaan itu.

Rabu, 04 Maret 2009

Piza Ningrat

Ada Piza dan Piza Napoletana. Tak lama lagi Piza Neapolitan yang berdarah biru ini akan bergabung dengan kelompok makanan bersertifikat Uni Eropa seperti keju biru Stilton dari Inggris. Untuk memiliki lisensi atau izin Guaranteed Traditional Specialty (makanan khas tradisional terjamin), diamater piza tak boleh lebih dari 35 cm. Ketebalan kerak pinggirnya tak boleh melebihi 2 cm. Bahan bakunya harus dari tepung jenis 00 dan sampai 100 gram tomat (lebih disukai tomat Marzano) yang dioleskan dengan gerakan memutar. Kata "piza" pertama kali muncul pada sebuah naskah dari tahun 997 dari Gaeta, sebuah kota di Itali bagian selatan. Seribu tahun kemudian pada 1997, para militan separatis di Italia bagian utara mencoba memboikot piza-ikon musuh mereka dari bagian selatan. Masyarakat Napoli menanggapi pemboikotan ini dengan "Biarkan saja mereka makan polenta," kalimat yang merujuk pada bubur berbahan dasar jagung yang disukai masyarakat utara yang lebih kaya, tetapi miskin cita rasa. jika saja Napoli mematenkan piza, kata penulis makanan Burton Anderson, "Napoli akan menjadi salah satu kota terkaya Itali dan bukannya salah satu kota termiskin."-Cathy Newman (National Geographic Indonesia, edisi Agustus 2008)

Selasa, 03 Februari 2009

Orangtua Pendeta

Cerita ini saya ambil dari Humam Baasir, salah seorang alumni peserta pertukaran pelajar:

BAPAK angkat saya adalah seorang pendeta, namanya Pieter ter Veen. Ibu adalah ibu rumah tangga biasa. Meski bapaknya pendeta, namun kakak saya yang waktu itu sudah kuliah di Groningen bekerja di diskotik sebagai DJ dan teknisi. Jangan salah, di sana meski bapaknya pendeta, belum tentu anaknya rajin ke gereja.

Meski bekas misionaris, mereka tidak mempengaruhi saya untuk memeluk agamanya. Memang ada kebiasaan mereka di rumah yang tidak ditinggalkan selama saya tinggal bersama mereka, seperti setiap kali mau makan selalu berdoa. Setelah makan, mereka membaca dan membahas injil bersama-sama. Waktu Natal, saya ke gereja karena ingin melihat Bapak saya ceramah.

Kalau ditanya kenapa saya bisa tinggal dengan keluarga misionaris tapi tidakterpengaruh, itu adalah karena adanya toleransi. Hal yang sama tentunya dapat kita terapkan di Indonesia jika kita saling mengerti. Hal yang sama juga perlu dilakukan oleh orang lain terhadap kita.

(Sumber: Menyemai Dunia Damai oleh Bina Antarbudaya)

>>>***<<<

Bersuku-suku, bernegeri-negeri. Ada banyak suku, ada banyak negeri. Juga ada banyak ragam manusia. Ada banyak karakter, ada banyak kepercayaan. Ada banyak agama yang di anut. Mengapa tidak kita syukuri keanekaragaman itu? mengapa tidak kita hayati keragaman itu sebagai anugerah? Segala cabang, segala pilihan, bersifat masing-masing. Bersifat personal. Mengapa tidak kita rayakan perbedaan itu?

Ketika seorang peserta pertukaran pelajar berangkat ke negeri yang belum ia kenal, ia telah memiliki modal keyakinan yang ia anut. Keyakinan ini bersifat personal. Dengan prinsip dan keyakinan itulah ia akan menghadapi ujian justru di tengah segala hal yang tampak dan terasa berbeda berdiri di hadapannya. Akan terpengaruhkah dia? Terbawa arus? Atau ia masih berakar pada keyakinannya semula? Di negeri seberang itu mereka menemukan banyak persamaan di tengah perbedaan. Mereka juga menemukan banyak perbedaan di tengah persamaan

Sepenggal Kisah dari Pasar Burung Pramuka

Suatu hari ada wisatawan dari Korea datang ke Indonesia untuk berlibur, namanya Chung Ju Yung. Dia adalah lulusan salah satu universitas terkemuka di negeri ginseng tersebut. Jadi, pendidikannya cukup tinggi. Chung juga memiliki hobi yang menarik, yaitu gemar memelihara burung. Begitu mendarat di Indonesia, hal pertama kali yang dia cari adalah pasar burung yang terletak di daerah pramuka.

Setelah celingak-celinguk ke sini dan ke situ, dia menemukan sejenis burung langka berbulu indah. Chung pun membuka percakapan dengan pedagang.

Ini bulung halganya belapa?”

Yang ini harganya seratus dolar Amerika”, jawab si penjual sekenanya.

Oh! Mahal cekalee, kenapa begitu mahal?”

Iya, burung ini bulunya bagus sekali.”

Wah, aku tak mau kalau selatus dolal.”

Chung pun pergi meninggalkan toko itu dengan harapan bisa mendapat harga yang lebih murah dan berusaha mencarinya ke toko burung lain. Akhirnya, dia melihat toko lain. Dia memasuki toko tersebut dan bertanya pada pedagang.

Ini bulung halganya belapa?”

Yang ini harganya dua ratus dolar Amerika”, jawab si penjual serius.

Oh! Mahal cekalee, kenapa lebih mahal dali yang di toko sebelah citu.”

Iya, selain bulunya bagus, burung ini kalau pagi bisa menyanyi. Ini burung pintar.”

Wah, tapi aku tak mau kalau dua latus dolal.”

Bisa ditebak Chung meninggalkan toko burung kedua dan mencari toko burung ketiga dengan harapan mendapatkan burung bagus berharga lebih murah. Setelah masuk toko ketiga, dia bertanya pada penjaga toko.

Ini bulung halganya belapa?”

Yang ini harganya tiga ratus dolar Amerika”, jawab si penjual dengan sopan.

Lho koq mahal cekalee. Di sebelah citu bulungnya pintel, malah bisa menyanyi loh..., halganya cuma dua latus dolar, kenapa yang ini lebih mahal?”

Iya, burung ini lebih pintar lagi. Selain bisa menyanyi, burung ini bisa joget. Jadi burung ini lebih pintar dari burung sebelah sana.”

Ya pintel, tapi mahal, aku tak mau kalau tiga latus dolar.”

Untuk kesekian kalinya Chung meninggalkan toko lalu mencari toko lainnya, dengan harapan bisa mendapat burung dengan harga lebih murah lagi. Dengan rasa penasaran, dimasukinya toko keempat yang terlihat menjual si burung indah dan bertanya pada penjual.

Belapa halga bulung ini?”

Yang ini lima ratus dolar Amerika”, jawab si penjual dengan enteng.

Loh ... loh... loh... mahal cekalee, di sebelah citu ada bulung pintel, bisa menyanyi dan joget, halganya tiga latus dolar, Yang ini halganya lima latus dolar, pasti bisa pintel lagi ya? Bica apalagi bulung ini?”, tanyanya penasaran.

Ooo... tidak, burung ini malah tidak bisa apa-apa. Burung yang pinter-pinter di sebelah-sebelah situ adalah anak buahnya. Sementara burung ini adalah bos mereka. Jadi, dia jauh lebih mahal.”

>>>>***<<<<

Cerita di atas menggambarkan bahwa seseorang menjadi bos atau orang hebat belum tentu mereka dapat menjalankan teknisnya. Contohnya, apakah pemilik pabrik mie instan harus pintar membuat mie? Apakah pengusaha burger harus pintar membuat burger? Jawabannya adalah tidak!

Sumber:Anang Sam. Siapa Bilang ”BODO” nggak bisa jadi PENGUASAHA.

Senin, 19 Januari 2009

GRAFOLOGI: TULISANMU WATAKMU

Manusia sulit berpura-pura soal “jerohannya”. Ada beragam jejak yang bisa dibaca orang tentang kepribadiannya. Bahkan orientasi seksual pun terpampang jelas melalui beberapa anggota badan. Salah satu tanda untuk menguak hal itu adalah tulisan tangan.

Ya, tulisan tangan yang sudah jarang kita lakukan seiring maraknya layanan pesan singkat dan surat elektronik itu bisa menjadi pintu gerbang untuk mengorek kepribadian dan karakter kita. ”Tak bisa disangkal lagi bahwa tulisan tangan seseorang itu khas. Karakteristik bentuknya tidak bisa benar-benar ditiru oleh orang lain”, tulis Camilo Baldi dalam bukunya A Method to Recognize the Nature and Quality of a Writer. Buku ini diterbitkan tahun 1622 dan diyakini menjadi buku pertama yang menganalisis tulisan tangan.

Tulisan tangan memang bukan hasil karya tangan semata. Ada yang menyatakan bahwa tulisan tangan seharusnya disebut dengan tulisan otak sebab perintah gerak yang membuat tulisan berasal dari otak, bukan dari tangan. ”Makanya tidak aneh jika ada orang yang bisa menulis menggunakan kaki,” kata Achsinfina H.S.,CHA, grafolog yang berpraktek di kawasan Bintaro.


90% lebih akurat.

Untuk bisa dianalisis tentu saja kita harus menyerahkan hasil tulisan tangan kita. Sinta, begitu panggilan akrab Achsinfina, mensyaratkan minimal kita membuat 15 baris tulisan. ”Tiga baris sih sebenarnya oke-oke saja.” Tulisan tadi harus digoreskan di atas kertas HVS berbobot sekitar 80 gr tanpa garis. Mengapa polos? Baseline atau kerataan tulisan ternyata termasuk faktor yang dinilai.

Tidak ada ketentuan harus menulis apa. Bukan cerita yang dinilai. Grafologi tidak melihat apakah tulisan Anda cantik atau berantakan. Cuma, untuk alat tulisnya harus menggunakan bolpoin standar. Boleh warna biru atau hitam. Alat tulis seperti Boxy atau spidol sebaiknya tidak digunakan, sebab menurut Shinta dapat membuat analisis bias akibat kuat lemah tekanan tidak terbaca.

Ada beberapa karakter dan goresan yang bisa digunakan untuk mengintip karakter seseorang. ”Misalnya huruf o, i, atau t,” kata Shinta. Perhatikan huruf ”o” yang Anda buat. Jika menutup sempurna pertanda Anda cenderung berbohong. Huruf ”o” juga menguak seseorang apakah ia teliti atau tidak. Dari penulisan huruf ”i” dan ”j” bisa ketahuan apakah seseorang peduli pada detail atau tidak. Sementara huruf ”t” akan memberikan kepercayaan soal kepercayaan diri. Tentu saja analisis tidak melihat satu huruf saja. Aspek lain pun akan mempengaruhi penilaian karakter seseorang.

Kecondongan tulisan (apakah miring ke kanan, tegak, atau miring ke kiri), serta lebar tulisan merupakan beberapa aspek yang turut berperan dalam penulisan. Dari kecondongan tulisan, bisa diteropong kehidupan sosialnya. ”Jika tulisannya miring ke kanan maka penulisnya memiliki kehidupan interaksi sosial yang bagus. Miring ke kiri, cenderung melihat diri sendiri sebagai center,” kata Shinta.

Sebenarnya semua orang bisa mempelajari grafologi ini. Tidak ada kualifikasi khusus untuk menjadi grafolog. Soal keakuratan penilaian, Shinta menyatakan bahwa sampai saat ini di atas 90% analisisnya sesuai dengan karakter ternilai.

Karakter seseorang merupakan hasil rangsangan dari lingkungan sejak kecil hingga besar. Bentuk atau ukuran huruf seseorang bisa saja berubah, tapi gerakan spontan saat anak-anak membuat ”tulisan cakar ayamnya” akan tetap terlihat.

Sumber: Agus Surono dalam Majalah Intisari edisi Juni 2008

Pecundang pun Bisa Menang?

Quitters can win if they know the right reason, the right way, and the right time to quit.”

Apakah kita boleh quit? Tentu boleh, dengan alasan yang tepat. Kita harus jujur pada diri sendiri. Apakah quit karena malas, tidak termotivasi, tidak tahan menderita, kurang ulet, ataukah kita quit karena setelah bekerja sangat keras dan berusaha dengan sungguh-sungguh sepenuh hati, tetapi apa yang kita lakukan ternyata tidak sejalan dengan value atau nilai-nilai hidup kita.

Tak sedikit orang mendaki tangga kesuksesan, dan setelah mencapai puncak tangga, ia baru sadar ternyata tangganya bersandar di tembok yang salah. Kenapa begitu? Kebanyakan kita tidak merancang hidup dengan hati-hati dan seksama, tidak punya peta kehidupan yang di susun dengan cara membuat daftar impian tertulis.

Sedangkan nilai hidup adalah apa yang kita yakini sebagai hal yang penting bagi hidup kita. Ia berperan sebagai kompas yang mengarahkan perahu kehidupan kita. Dengan nilai hidup sebagai fondasi, impian yang disusun tidak akan menyimpang dari tujuan hidup kita. Dengan demikian saat mencapai puncak kesuksesan kta justru akan semakin bersemangat dan bahagia. Jadi, ukurannya seberapa bahagia kita saat mencapai impian.

Nah, siapa bilang Quitters never win? Sering The Real Winner adalah mereka yang berani Quit.

The real Loser justru mereka yang bersikap keras berkata, “Never, never quit.”

Anda perlu hati-hati agar tidak menjadi pemenang diantara pecundang hanya karena Anda adalah yang paling tidak mau quit.

Sumber: Adi W. Gunawan, The Re-Educator & Mind Navigator. Majalah Intisari edisi Oktober 2008.


17 IDE MERDEKAKAN PIKIRAN

(Bacalah artikel ini, layaknya Anda seorang proklamator)


Seorang bayi terlahir dengan pikiran yang kososng. Tanpa isi, tanpa doktrin, tanpa ”install” apa pun. Sebuah pikiran yang luas, yang merdeka. Namun setelah dewasa, uniknya kita malah terus mencari sang saka ”Merdeka!”, kadang hanya sepotong kemerdekaan diri. Menjadi pribadi yang bebas, menjadi pribadi yang mandiri. Menjadi pribadi yang merdeka.

Mengapa demikian? Apa yang telah diisi ke pikiran kita? Apa yang di-install? Siapa yang bertanggungjawab atas pikiran kita?

Tidak perlu dijawab karena hanya akan memperpanjang persoalan. Marilah berfokus untuk memerdekakan diri saja. Walaupun ”merdeka” bisa hanya berupa kata, bisa juga berupa makna, mungkin berupa hikmah, bahkan bisa bebas. Bebas terlepas dari kungkungan, belenggu diri, ikatan kencang sang ego.

Sebagai seorang motivator dan praktisi Neuro Linguistic Programming (NLP), saya ingin berbagi sedikit pengalaman menang ”berperang” melawan penjajah di dalam pikiran pikiran kita sendiri:

  1. Saat penjajah muncul dalam pikiran ”Apa mungkin, ya?”, pergilah ke cermin, tatap dia yang ada di cermin dengan tajam, katakan: ”Enggak ada yang enggak mungkin! Anything is POSIBLE.”

  2. Tapi, apa kamu bisa?” Jawablah, ”Bukan persoalan bisa atau tidak bisa, namun mau atau tidak mau.”

  3. Aku kan sayang pada kamu...” Jawablah, ”Jika memang kau sayang padaku, berikan aku kesempatan untuk membuktikan siapa diriku ini.”

  4. Bagaimana kalau kamu dihina orang?” jawablah, ”Hinaan aku perlukan sebagai sumber daya pengungkit agar aku terus bergerak maju.”

  5. Bagaimana kalau kamu gagal?” Jawablah, ”Gagal memang bisa muncul, hanya bila aku berhenti dan menyerah”

  6. Tapi ada waktunya kamu juga harus berhenti sejenak, bukan?” Jawablah, ”Betul, boleh berhenti. Namun untuk beristirahat agar mendapat tenaga baru. Bukan untuk berleha-leha atau menyerah.

  7. Ah, memang kamu keras kepala.” Jawablah, ”Bukan soal keras kepala, manusia harus hidup dengan keras prinsip. Keras dalam tekad agar kepala tetap tegak sampai di akhir hayat.”

  8. Kamu yakin bisa sukses?” Jawablah, ”Bukan soal sukses atau gagal, yang terpenting adalah menyelesaikan apa yang telah dimulai.”

  9. Walau kadang berat?” Jawablah, ”Justru berat membuat kita kuat. Dengan semakin kuat, maka kita pun akan mampu mengangkat yang lebih berat.”

  10. ah, kamu sombong sekali.” Jawablah, ”Sepertinya sombong, namun ini adalah tekadku dalam mengarungi kehidupan. Tekad menimbulkan semangat. Semangat bukanlah kesombongan. Semangat adalah energi dahsyat.”

  11. Apa tujuan hidupmu, jika demikian?” Jawablah, ”Paling tidak menjadi seorang yang berarti dalam hidup ini, seorang yang dapat memberi makna, berbagi hikmah, seorang yang berguna bagi orang lain.”

  12. Apakah cita-cita itu tidak ketinggian?” Jawablah, ”Mungkin tinggi, namun jika kita merangkak ke atas, raih demi raih, maka ketinggian pun dapat dicapai.”

  13. Apakah perjalanan mencapai impian itu tidak berat?” Jawablah, ”Memang berat, namun mungkin untuk diwujudkan.”

  14. Jadi kamu yakin 100% ?” Jawablah, ”Keyakinanlah yang membuat manusia bisa terbang tinggi, setinggi yang diinginkan, sejauh yang bisa dicapai.”

  15. Jadi tekadmu sudah bulat?” Jawablah, ” Tekadlah yang menjadi sumber tenaga dahsyat manusia untuk ke bulan.”

  16. Kamu sudah siap mental ke depan?” Jawablah, ”Manusia diberi akal budi oleh Tuhan, apa pun halangan di depan, selama kita percaya dan berserah pada Dia, maka pasti akan dibukakan jalan. Di mana ada kemauan pasti ada jalan. Jika belum ketemu jalan, maka buatlah jalan.”

  17. Baiklah aku mendukungmu.” Jawablah, ”Dukungan memang diperlukan manusia untuk mempercepat perjuangan dalam mengarungi samudra kehidupan ini. Samudra memang luas, namun pasti dan pasti ada pantai indah nun jauh di sana. Pasti, jika kita terus mengayuh, mengayuh, dan mengayuh.”

Merdekalah, saudaraku! Merdekalah.


Sumber: Krisnamurti, mindset motivator. Majalah INTISARI, edisi Agustus 2008.